Kerlip Suluh dari Rama Magnis

Ketika bunga api memercik dari kilat, pijarannya menghantam laut. Lalu, api bercampur dengan air, dan campuran api-air ini masuk menyusup ke dalam kulit kerang yang sedang terbuka. Maka, bakal mutiara dalam kulit kerang itu pun berkembang dengan perlahan-lahan menuju ke keindahannya.

Mutiara itu kemudian meloloskan dari kulit yang membungkusanya, tanpa merusak atau menghancurkannya. Daging yang tidak sempurna itu ternyata telah memberikan jasanya bagi si mutiara.

Sindhunata; Jalan Hati Yesuit; Gramedia, 2022

***

Pernyataan panjang lebar Rama Franz Magnis Suseno di sidang Mahkamah Konstitusi dalam kapasitas sebagai ahli harus dimaknai sebagai suluh di tengah banalitas pengingakaran etika di praksis politik kita hari-hari ini.

Ia hadir di sidang Mahkamah Konstitusi yang mengadili gugatan perselisihan hasil pemilihan umum 2024—khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden—pada Selasa 2 April 2024.  Keterangan Rama Magnis seharusnya diterima sebagai koreksi atas banalitas pengingkaran etika dalam kehidupan politik kita yang dikemukakan seorang intelektual sekaligus rohaniwan.

Ternyata yang marak mengemuka di ruang publik nyata dan ruang publik maya hanyalah kontroversi di kalangan pendukung calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo-Moh. Mahfud Md. serta Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Pendukung Prabowo-Gibran jamak menistakan penjelasan panjang lebar Rama Magnis ihwal kefatalan ketika seorang presiden yang sedang berkuasa—Presiden Joko Widodo—menggunakan kekuasaan yang dia pegang demi keuntungan sendiri dan keuntungan keluarganya.

Tanggapan mereka jamak hanya berbasis banalitas sentimen pendukung—bahkan massa cair pendukung—dari pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang memenangi pemilihan umum. Inti tanggapan mereka hanyalah bahwa kritik yang dikemukakan Rama Magnis dikemukakan atas nama yang kalah dalam pemilihan umum. Bermaksud menggugat kekalahan. Tidak menerima kekalahan.

Sedangkan dari kalangan pendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin juga berbasis banalitas dari pendukung yang kalah dalam pemilihan umum. Bahwa kekalahan mereka disebabkan intervensi kekuasaan yang memihak dan bertindak untuk kemenangan pasangan Prabowo-Gibran.

Realitas demikian ini yang kemudian memosisikan kritik—sangat bagus—dari Rama Magnis seakan-akan tak berbeda dengan aneka kontroversi yang silih berganti muncul di ruang publik nyata dan ruang publik maya berbasis logika dan algoritma yang mendorong kerumunan massa ”memperebutkan” sebuah wacana, namun nir-esensi, tanpa substansi.

Rama Magnis adalah seorang intelektual. Dia guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Rama Magnis jelas seorang rohaniwan. Dia melayani umat bersama Serikat Yesus. Sebuah ordo Katolik.

Seingat saya, dulu, dia juga mendukung Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019. Justru itulah, dalam pemaknaan saya, keintelektualan dan kerohaniwanan Rama Magnis menemukan autentisitasnya.

Ia tentu dengan cermat membaca, menelaah, dan memahami kecenderungan ”perubahan” Presiden Joko Widodo. Pembacaan, penelahaan, dan pemahaman itu menggerakkan sisi intelektualitas dan kerohaniwanan Rama Magnis untuk mengkritik Presiden Joko Widodo.

Kemampuan demikian pastilah tidak dimiliki oleh kalangan pendukung dalam konteks banalitas politik—politik yang tidak mencerdaskan, politik penuh manipulasi, politik hanya untuk mengejar kekuasaan; apalagi sekadar massa cair yang ”pejah gesang ndherek” yang didukung tanpa menggunakan nalar.

Di forum sidang Mahkamah Konstitusi itu, Rama Magnis menjelaskan prinsip-prinsip etika. Etika adalah ajaran dan keyakinan tentang yang baik dan yang tidak baik pada kualitas manusia sebagai manusia.

Etika itu membedakan manusia dengan binatang. Binatang hanya mengikuti naluri alamiah. Manusia sadar bahwa naluri alamiah bisa diikuti apabila baik dan tidak diikuti apabila tidak baik. Tuntutan paling dasar dari etika sejak ribuan tahun lalu dirumuskan manusia dalam ketentuan hukum.

Tidak memperhatikan hukum yang berlaku dengan sendirinya adalah melanggar etika. Manusia yang tidak melanggar hukum dinilai baik secara etik, tetapi prinsip etika menuntut untuk berbuat lebih daripada sekadar taat hukum.

Tuntutan etika yang demikian ini, yang melampaui hukum positif—yang dirumuskan manusia, adalah agar manusia ketika tidak ada aturan hukum tetap menjadi manusia yang baik hati, jujur, peduli, adil, dan bertanggung jawab. Etika akan mendorong manusia selalu memuliakan manusia lain dan harkat martabat dirinya sebagai manusia.

Seorang penguasa, katakanlah seorang presiden, tidak cukup hanya bertindak tidak melanggar hukum. Seorang penguasa, seorang presiden, dituntut lebih daripada sekadar tidak melanggar hukum dan bisa memberi perintah yang menentukan keselamatan dan kegagalan serta hidup dan mati seseorang.

Seorang penguasa, seorang presiden, yang taat hukum sekaligus beretika tinggi akan membangkitkan rasa percaya di kalangan orang banyak untuk mendukung dia menjadi penguasa, menjadi presiden. Kepercayaan yang sekaligus dilandasi keyakinan bahwa kekuasaan yang diserahkan kepada penguasa, kepada presiden, yang beretika itu akan menjamin keamanan dan kenyamanan hidup.

Seorang presiden harus membuktikan dirinya sebagai orang yang baik, bijaksana, jujur, dan adil. Pada diri seorang penguasa tertinggi niscaya ditutut etika yang tinggi pula. Etika yang jauh lebih tinggi daripada orang-orang yang mendukung dirinya menjadi seorang penguasa, menjadi seorang presiden.

Seorang penguasa, seorang presiden, adalah penguasa atas seluruh masyarakat. Inilah yang meniscayakan tuntutan tentang etika pada dirinya yang jauh lebih tinggi daripada yang lain. Ketika seorang presiden menggunakan kekuasaan yang dia pegang—yang dia peroleh karena dukungan rakyat—demi keuntungan sendiri atau keuntungan keluarganya jelas dia telah melanggar etika.

Presiden adalah milik semua, bukan milik mereka yang memilihnya. Kalau seorang presiden itu berasal dari suatu partai politik, begitu dia menjadi presiden tindakannya harus demi keselamatan semua, bukan cuma demi keselamatan partai politik yang mendukung dirinya menjadi presiden.

Dalam konteks pemilihan umum 2024, Rama Magnis menyebut pemilihan umum adalah seluruh proses yang mencakup sejak tahap persiapan dan kepastian hasil yang menjamin setiap warga dapat memilih, menggunakan hak pilih, secara bebas, merdeka, tanpa paksaan dalam bentuk apa pun.

Menurut Immanuel Kant,  rakyat akan menaati pemerintah apabila pemerintah bertindak atas dasar hukum yang berlaku, yakni adil dan setara. Menegakkan hukum dengan landasan etika. 

Ketika penguasa bertindak melanggar hukum, memanipulasi hukum–tanpa etika, dan hanya menggunakan kuasanya untuk menguntungkan dirinya, kelompoknya, kawannya, dan keluarganya sendiri, maka motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang. Tentu saja etika juga dikesampingkan.

***

Nama asli Rama Magnis adalah Franz von Magnis. Dia lahir di Jerman pada 26 Mei 1936. Berdarah Ceko. Keturunan klan bangsawan Austria, Graf von Magnis. Franz von Magnis datang ke Indonesia pada 1961. Tahun 1977 ia menjadi warga negara Indonesia sepenuhnya.

Pada usia belia, 25 tahun, ia yang berstatus frater muda Yesuit menerima tugas perutusan dari Ordo Serikat Yesus Provinsi Jerman Selatan untuk pergi ke Indonesia. Ia mendarat di Jawa pada 1961. Dia kemudian belajar filasafat dan teologi di Kolese Ignatius Yogyakarta. Saat itu dia juga menerima tugas tambahan dari Serikat Yesus untuk belajar bahasa Jawa.

Setelah ditahbiskan sebagai imam, ia mendapat tugas belajar lebih lanjut tentang filsafat di Universitas Muenchen. Pada 1973, Rama Magnis meraih gelar doktor filsafat. Bersama para imam Yesuit lainnya, bekerja sama dengan Keuskupan Agung Jakarta dan Ordo Fratrum Minorum atau OFM, Rama Magnis turut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta.

Franz Magnis Suseno—nama yang dia pilih sendiri setelah menjadi warga negara Indonesia—adalah pencinta dan pengamat budaya Jawa. Ia  menulis buku Etika Jawa (1984). Buku yang telah dicetak berulang kali dan sangat masyhur dalam kajian kebudayaan Jawa, etika, dan filsafat.

Ia sangat mencintai wayang kulit. Menonton wayang kulit. Memahami wayang kulit. Ia mengidolakan Adipati Karna. Ia mengidentifikasi Adipati Karna sebagai tokoh yang menarik, simpatik, dan sedikit tragis. Nama lengkap Adipati Karna adalah Karna Basuseno Suryoseputro. Inilah asal usul nama Suseno yang dia pilih untuk namanya setelah menjadi warga negara Indonesia.

Rama Magnis adalah orang yang setia dan teguh dengan nuraninya. Dia punya banyak kawan yang berbeda agama. Berani tampil dengan agama dan keyakinan adalah tuntutan kejujuran. Seperti Adipati Karna. Rama Magnis selalu berjuang mewujudkan kejujuran bagi diri sendiri maupun untuk hidup berbangsa.

Rama Magnis adalah seorang Yesuit. Anggota ordo Serikat Yesus. Ia sangat memahami Fundamentum. Bahwa manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi kepada Allah Tuhan, dan dengan demikian menyelamatkan jiwa. Barang lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolong manusia dalam mengejar tujuan diciptakan.

Manusia harus mempergunakan, sejauh itu menolong mencapai tujuan tadi, dan melepaskan diri dari padanya, sejauh itu merintangi dari mencapai tujuan tersebut. Manusia perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala barang ciptaan, asalkan itu terserah pada kemerdekaan kehendak bebas manusia, lagi pula bukan hal terlarang.

Pemahaman tentang Fundamentum itulah yang menjadi landasan Rama Magnis memiliki kiprah hidup yang dia jalani hingga kini. Menjadi ahli yang dihadirkan di Mahkamah Konstitusi dan berbicara tentang etika–serta mengkritik penguasa–adalah bagian dari kiprah dalam konteks mengejawantahkan Fundamentum seperti diajarkan Ignatius Loyola (1491-1156), pendiri Serikat Yesus.

Dalam buku Anak-anak Ignatius, Kontemplasi dalam Aksi karya Sindhunata (Gramedia, 2022) ada penjelasan Rama Magnis aktif dalam segala hal ihwal dunia ini. Ia terlibat sepenuhnya dalam kerja keintelektualan hingga berdemonstrasi, turun ke jalan, memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi.

Rama Magnis tidak pernah tinggal diam dalam ketenteraman. Apa saja bisa menjadi pemicu keresahan dan pergulatan. Ia gelisah dan selalu bergulat tentang negara dan bangsa, tentang Pancasila, tentang hidup dan kerukunan beragama. Ia aktif di forum-forum yang memungkinkan dirinya menyumbangkan pemikiran dan keprihatinan—termasuk di Mahkamah Konstitusi dalam urusan pemilihan umum 2024.

Hal-hal kecil juga menjadi keprihatinan Rama Magnis. Ia menulis tentang harga bahan bakar minyak, tentang jalur kereta api di Jawa, tentang lalu lintas di Jakarta. Ia tidak hanya mengkritik, tetapi juga memberikan alternatif penyelesaian dan penghitungan. Ia melakukan semua itu seakan-akan di sanalah dia menemukan hakikat dirinya, memberikan dirinya, komitmennya, secara total.

Seakan-akan di sanalah dia bisa mengabdi kepada Tuhan. Menjadi ahli di Mahkamah Konstitusi juga bagian dari kredo hidup Rama Magnis yang demikian. Sebenarnya itu semua bukan seakan-akan, tetapi sungguhan. Ia sungguh memberikan dirinya, sungguh mengabdi kepada Tuhan.

Ia adalah seorang Yesuit. Ia mendasarkan hidup pada Fundamentum. Dalam diri Rama Magnis itulah terlihat Fundamentum hidup dengan nyata dan konkret. Politik Fundamentum melebihi politik atau etika kekesatriaan. Hidup, doa, karya, mistik, dan politiknya adalah Fundamentum, latihan rohani yang diajarkan Santo Ignatius Loyola. Dengan reputasi demikian, sangat keji dan sangat bodoh orang-orang yang melabeli Rama Magnis sebagai buzzer

Tinggalkan komentar