Kiran Menjadi Martir untuk Mengungkap Kemunafikan

MVP Pictures telah meluncurkan trailer (https://www.youtube.com/watch?v=kAabS9gFV4g) dan poster film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa yang disutradari Hanung Bramantyo.

Film ini diadaptasi dari novel karya Muhidin M. Dahlan berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Film hasil adaptasi ini akan ditayangkan di bioskop mulai 22 Mei 2024.

Trailer itu mengisahkan Kiran (diperankan Aghniny Haque) adalah mahasiswi dari keluarga miskin. Dia lahir di desa. Kiran taat beragama, pintar, dan kritis pada kemunafikan.

Saat kuliah di Jogja, dia masuk dalam kelompok kajian agama garis keras yang dipimpin Abu Darda (diperankan Ridwan Raoull). Abu Darda selalu meminta jemaah pengajian itu mengabdikan diri kepada jalan Allah lewat jihad yang sangat keras.

Alih-alih mendapatkan hidayah, Kiran justru mendapatkan cobaan berat yang datang bertubi-tubi. Berawal dari dirinya hendak dijadikan isteri keempat oleh Abu Darda yang tentu saja sangat bertentangan dengan prinsipnya.

Sikap kritis malah menjadikan Kiran dituduh menebarkan fitnah kepada sang imam jemaah hingga mendapat ancaman fisik. Orang tua Kiran di desa juga t menuduh dirinya sebagai anak yang kebablasan.

Kiran dinilai berani melawan ulama. Kiran juga mendapatkan pelecehan seksual dari dosen pembimbingnya sendiri serta teman kuliah yang dikenal alim dan taat beragama.

Kiran yang mendapat cobaan bertubi-tubi itu merasa tidak tahan dan kemudian menggugat Tuhan. Dia memprotes Tuhan karena aneka cobaan silih berganti yang mendera dirinya.

”Ya, Rabb. Jika pengabdianku pada-Mu justru Kau balas dengan cobaan yang berat, lantas apa cobaan bagi orang-orang munafik yang telah melecehkan perempuan seperti hamba? Lihatlah, ya Allah! Aku akan jadikan tubuhku ini martir untuk mengungkap kemunafikan umatmu yang sok suci itu!”

Mengutip 21cineplex.com, sejak saat itu Kiran menyerahkan dirinya kepada kegelapan dunia demi mengungkap manusia-manusia munafik yang banyak menipu umat dengan janji-janji palsu.

Ia berkehendak keras membongkat kedok orang-orang yang membuat orang-orang seperti ibunya jatuh dalam kepercayaan yang buta kepada mereka.

Sutradara Hanung Bramantyo dalam konferensi pers pada Selasa (30/4/2024), seperti diberitakan Antaranews.com, mengatakan film ini ingin memberikan pandangan terbuka mengenai isu stereotipe terhadap gender dan agama.

“Ini membuka mata saya. Penonton Indonesia sudah dewasa dan bebas berpikir. Mereka enggan diberi sesuatu yang stereotipe. Itu yang membuat saya dan kawan-kawan percaya diri membuat film yang tidak stereotipe,” kata Hanung.

Tokoh Kiran yang mencari jati dirinya dari seorang perempuan alim yang taat beragama menjadi dekat dengan kehidupan malam yang sangat bertolak belakang.

Hanung ingin mengungkapkan lewat media film bahwa isu ini masih berkembang di masyarakat dan masih banyak terjadi di kalangan remaja yang masih mencari jati diri mereka. Film ini dikategorikan untuk usia 17 tahun ke atas.

“Kasus yang menimpa Kiran terjadi pada usia ABG. Ketika mereka dalam situasi ambigu, bingung nyari arah, dari situ kemudian terjadi kebanyakan kasus seperti itu,” kata Hanung.

Dalam proses produksi saat masa pandemi Covid-19, Hanung mengalami kesulitan mendapatkan pemeran Kiran. Banyak yang menolak karena khawatir akan berdampak negatif pada pengikut agama tersebut, hingga akhirnya peran Kiran jatuh pada Aghniny Haque.

Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa ditayangkan perdana di Jogja Netpac Asia Film Festival pada 2023 dan selanjutnya akan ditayangkan di Malaysia dan Rusia.

Keputusan menayangkan perdana film ini di festival film adalah untuk melihat reaksi penonton terhadap film drama religi tersebut. Produser Raam Punjabi berharap pesan positif dalam film ini ditangkap masyarakat.

”Saya bertanggung jawab memberikan pilihan variatif dan Hanung selalu membuat film yang betul-betul menjadi panutan dan punya daya tarik tersendiri di industri film kita. Mudah-mudahan masyarakat menangkap pesan positif dari film ini,” kata Raam.

Aktris Aghniny Haque mengaku mendapat tantangan baru di dunia akting karena harus memerankan dua karakter yang berbeda dalam film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa.

Dalam film ini, Aghniny memerankan Kiran yang awalnya adalah perempuan taat beragama kemudian masuk ke dunia malam dan menghadapi pergolakan batin dalam mencari jati diri.

”Dari segi range emosinya sungguh luas. Dua peran sekaligus. Yang satu Kiran yang masih salehah dan satu lagi Kiran yang mencari jati diri,” kata Aghniny.

Memerankan karakter Kiran adalah pencapaian tersendiri di dunia akting bagi Aghniny. Ia senang bekerja sama dengan sutradara Hanung Bramantyo yang sangat mendukung dirinya hingga bisa memerankan tokoh Kiran dalam dua sisi secara baik.

Selama proses mendalami karakter Kiran, Aghniny mengaji dan memperdalam agama Islam agar peran yang ia mainkan bisa tersampaikan dengan baik.

Ia juga berguru kepada kakeknya yang seorang kiai, mendatangi pengajian rutin selama hampir tiga bulan, dan mengulang membaca syahadat agar bisa masuk ke dalam karakter yang ia mainkan.

Memerankan dua karakter yang bertolak belakang, menurut Aghniny, sangat sulit karena harus menyampaikan kepiluan Kiran secara jujur.

Aktor dan penyanyi Nugie sempat mengalami dilema dalam memerankan sosok Alim Suganda dalam film  Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Dilema itu dirasakan aktor bernama asli Agustinus Gusti Nugroho karena harus memerankan pejabat yang memiliki karakter bejat.

Ia juga ditantang sutradara Hanung Bramantyo untuk memperlihatkan dan membongkar kemunafikan untuk mendalami sosok tersebut. Nugie tidak pernah terpikir akan memerankan sosok tersebut selama kariernya di industri film.

”Ternyata ini salah satu karakter yang banyak ditolak, kok aku mau,” ucap Nugie sambil tertawa.

Ia menyadari akan ada banyak hujatan kepada dirinya karena memerankan sosok yang bisa jadi kontroversial. Nugie percaya film ini membawa pesan positif bagi masyarakat luas.

Novel Berbasis Realitas

”Ada yang mau, baru mau saja, memfilmkan novel saya itu, sudah membuat saya senang sekali, apalagi benar-benar diangkat ke layar lebar,” kata Muhidin M. Dahlan.

Ia mengatakan itu ketika saya hubungi via telepon beberapa waktu lalu. Saya menghubungi dia untuk meminta konfirmasi ihwal kabar novel karya dia yang kontroversial pada 2003 berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (Memoar Luka Seorang Muslimah) akan diekranisasi oleh sutradara Hanung Bramantyo menjadi film layar lebar.

”Kala pandemi Covid-19 sedang bahaya-bahayanya, ya 2021, awal, Hanung mengatakan akan membuat sinetron berbasis novel saya itu,” kata Muhidin.

”Ternyata sampai pandemi mereda skenario sinetron itu tak kunjung selesai. Ya, setelah pandemi mereda dan dianggap selesai, Hanung akan membutanya menjadi film layar lebar, bukan sekadar sinetron,” ujar Muhidin.

Muhidin dan Hanung bertemu di sebuah kafe di Kota Jogja di tengah pandemi Covid-19. Di situlah Hanung mengatakan berminat menjadikan novel karya Muhidin itu menjadi sinetron, namun ternyata penulisan skenario tak kunjung selesai.

Begitu pandemi Covid-19 selesai, yang menguat malah rencana menjadikan novel itu film layar lebar. Novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (Memoar Luka Seorang Muslimah) kali pertama terbit pada Oktober 2003.

Begitu novel itu terbit dan dijual bebas di pasaran memang memunculkan kontroversi. Pada Januari 2004, kira-kira tiga bulan setelah novel itu terbit dan dibaca banyak orang, Muhidin menulis surat untuk pembaca yang menghimpun sebagian kecil kontroversi yang mengemuka setelah novel itu terbit.

Kala itu Muhidin sama sekali tak menduga respons publik yang pro dan kontra setelah novel itu dibedah dan dipromosikan di Yogyakarta, Jakarta, Magelang, Purwokerto, Malang, Magelang, Jombang, Makassar, Palu.

Salah satu ”serangan” keras kepada Muhidin adalah tuduhan dirinya berusaha menyudutkan gerakan Islam tertentu. Ada yang mengatakan Muhidin adalah pengusung nilai-nilai kufur yang sangat Marxis dengan derajat kebencian terhadap agama (Islam) yang sangat tinggi.

Seorang perempuan dosen pengampu mata kuliah agama Islam di sebuah perguruan tinggi berbasis Islam—kala itu—membeli novel tersebut karena didorong rasa penasaran setelah dosen-dosen di lingkungan kerjanya intensif membicarakan novel karya Muhidin itu.

Setelah membaca novel itu, sang dosen itu berkesimpulan penulisnya dengan kecanggihannya berusaha merusak akidah Islam. Muhidin mendengar langsung penutusan sang dosen itu dalam sebuah acara bedah novel itu di Yogyakarta.

Di bedah buku lainnya, Muhidin mendengar penilaian seperti itu dengan kalimat-kalimat yang berbeda. Seorang khatib di sebuah masjid kampus menyebut ada zionis di belakang penerbitan novel tersebut.

Menurut Muhidin, dalam surat kepada pembaca itu, andaikan sang khatib itu tak mengutamakan prasangka dan lebih dulu bertanya kepada penerbitnya niscaya dia akan geleng-geleng kepala dan tidak akan percaya bahwa buku itu terbit karena patungan dana dari sejumlah anak muda yang cinta buku dan wacana.

Novel itu bisa terbit pada Oktober 2003 karena keluasan hati pemilik percetakan yang rela dibayar mundur jasanya. Dibayar setelah novel laku di pasaran.

Kala itu Muhidin juga harus berhadapan dengan beberapa pihak yang merasa terfitnah oleh latar tempat dalam novel itu yang dianggap menyudutkan instansi tertentu dan nama orang tertentu.

Sebuah institusi pendidikan tinggi sampai menahan ijazah seorang mahasiswi yang dicurigai sebagai Nidah Kirani, tokoh utama dalam novel itu.

Selain banyak suara kontra, novel itu juga memunculkan kritik proporsional.  Kritik yang dikemukakan tanpa kemarahan, tanpa prasangka, karena isi novel tersebut tak ada apa-apanya dibanding kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat luas.

Seorang psikolog yang membedah buku itu mengatakan novel tersebut memperkaya khazanah dunia psikologi tentang kondisi kejiwaan seorang manusia ketika bersentuhan sangat intensif dengan agama.

Diskursus keagamaan masa kini jauh lebih terbuka—secara umum, kendati pemikiran-pemikiran dangkal dengan balutan emosional tanpa pernalaran memang masih mengemuka di sana sini.

Inilah tantangan yang dihadapi dalam ekranisasi novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (Memoar Luka Seorang Muslimah). Pada masa penerbitan awal novel ini, seiring kontroversi yang mengemuka saat itu, mengemuka pula perbincanan berisi tebak-tebakan tentang siapa sesungguhnya Nidah Kirani.

Tentang universitas atau kampus mana yang disebut Kampus Biru, Kampus Matahari Terbit, dan Kampus Barek di novel tersebut. Juga tebak-tebakan tentang masjid apa yang disebut sebagai Masjid Tarbiyah Yogyakarta dan pesantren apa yang disebut Pondok Ki Ageng dalam novel itu.

”Hanung kan memang suka mengangkat cerita-cerita yang berada di ’tubir jurang’. Pastilah dia tahu potensi kontroversi yang akan muncul,” kata Muhidin.

Ihwal substansi novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (Memoar Luka Seorang Muslimah), Muhidin mengatakan buku itu adalah fiksi yang bahan bakunya sepenuhnya diambil dari kisah nyata dan wawancara mendalam selama beberapa pekan.

Tinggalkan komentar