Joko Pinurbo Membuat Semua Melasa Gembila dengan Puisi

Ilustrasi foto Joko Pinurbo diambil dari makassarwiters.com.

”Kerja penyair adalah bagian dari jiwa yang bersedia berbagi. Berbagi ketekunan-ketekunan kecil merawat dan mengolah potensi bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia, agar bahasa ini terus mekar menjadi bahasa ekspresi yang lebih kaya dan fleksibel,” ujar Joko Pinurbo.

”Ketekunan-ketekunan kecil yang dijalani penyair itu dipelihara dengan cinta yang keras kepala. Saya berterima kasih kepada istri dan anak-anak saya yang telah mendukung dan merelakan saya menjadi seorang pengrajin sastra [kata-kata] dan  harus banyak bersabar dan bertawakal,” ujar dia.

”Saya beruntung punya mantra yang mustajab yang menguatkan saya untuk bertekun di dunia yang sepi secara ekonomi ini. Mantra itu berbunyi segalanya menjadi mudah dengan mudah-mudahan,” kata dia lagi yang disambut tepuk tangan.

Penyair Joko Pinurbo mengatakan kalimat-kalimat itu saat menerima penghargaan Achmad Bakrie Award XIX/2023 yang diserahkan pada Sabtu 2 September 2023 malam di Jakarta.

Penyair paling terkenal di Indonesia 25 tahun terakhir—apabila dihitung dari penerbitan kumpulan puisi pertama berjudul Celana pada 1999—itu mengembuskan napas terakhir pada Sabtu (27/4/2024) di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada pukul 06.03 WIB.

Jenazah Joko Pinurbo dimakamkan pada Minggu (28/4/2024) berangkat dari Rumah Duka Perkumpulan Urusan Kematian Yogyakarta (PUKY) di Jl. PGRI, Sonosewu, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pukul 10.00 WIB ke permakaman umum di Demangan, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ia sakit beberapa waktu terakhir. Selama tiga bulan terakhir kondisinya naik turun. Pekan lalu dia dirawat lagi di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dan mengembuskan napas terakhir di rumah sakit itu.

Achmad Bakrie Award XIX/2023 diberikan kepada Joko Pinurbo untuk bidang sastra karena puisinya yang secara tajam menggabungkan warisan puisi lirik dengan budaya populer dan satire sosial.

Joko Pinurbo saat itu mengemukakan harapan penghargaan tersebut bisa memberi inspirasi kepada kaum muda bahwa menulis itu kelihatannya mudah, tetapi kalau tidak siap mental dan tidak punya ketahanan mental sangat mungkin tidak bersemangat.

”Jumlah penghargaan untuk sastra di Indonesia sangat minim dibandingkan dengan perkembangan sastra. Produksi sastra di Indonesia cukup mengagumkan, tetapi apresiasinya memang kurang,” ujar dia.

Bahasa Indonesia tentu yang paling berduka cita atas kepergian Joko Pinurbo selamanya. Joko Pinurbo yang punya latar akademis kuat dalam urusan bahasa Indonesia dan sastra, mengajar di universitas, dan membimbing mahasiswa sarjana dan pascasarjana itu berhasil memberdayakan bahasa Indonesia lewat—yang dia sebut—ketekunan menjadi ”pengrajin sastra” atau pengrajin kata-kata. 

Kepenyairan Joko Pinurbo—setidaknya 25 tahun terakhir—berhasil membangun lanskap baru di dunia perpuisian Indonesia. Ia menjadi penyair yang sama sekali tidak elitis. Puisi-puisi karya dia bergenre membumi, mudah dipahami, populer, dan selalu pekat dengan kejenakaan. Itu semua autentik, tiada duanya.

Apa pun topik puisi karya Joko Pinurbo selalu menghadirkan kejenakaan. Satire, tragedi, kesedihan, bahkan kehancuran dia munculkan dengan larik-larik kata yang membangkitkan optimisme sekaligus keniscayaan berefleksi.

Tentu dengan balutan kejenakaan. Aneka topik dia tampilkan dalam puisi yang selalu memancing kegembiraan pembacanya. Bahasa Indonesia oleh Joko Pinurbo menjadi bahasa yang sangat kaya, plastis, keren, sekaligus menantang dan memancing kreativitas.

Ketika dia membahas bahasa Indonesia dalam puisi berjudul Kamus Kecil (2014), ia mengemukakan pasangan konsep permukaan dan kedalaman, kesederhanaan dan kompleksitas, yang pintar dan yang lucu. Tentu saja ada kejenakaan di sana.

Joko Pinurbo lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Ia menyelesaikan pendidikan SMA di Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah pada 1981. Selulus SMA ia melanjutkan studi di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma Yogyakarta—kini Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Ia lulus kuliah pada 1987. Setelah itu beberapa tahun ia mengajar di almamaternya sekaligus menjadi redaktur Majalah Basis. Puisi-puisi karya Joko Pinurbo dipublikasikan di banyak media massa.

Sajak-sajak karya Joko Pinurbo juga dimuat di berbagai antologi, yaitu Tugu (1986), Tonggak (1987), Sembilu (1991), Ambang (1992), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Utan Kayu Tafsir dalam Permainan (1998).

Pada 2005, buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo berjudul Kekasihku mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award. Joko Pinurbo menghasilkan banyak buku kumpulan puisi.

Buku-buku puisi awal yang melambungkan nama Joko Pinurbo sekaligus menunjukkan kemampuan Joko Pinurbo membangun lanskap baru kepenyairan di Indonesia, antara lain, Celana (Indonesia Tera, 1999), Di Bawah Kibaran Sarung (Indonesia Tera, 2001), Pacarkecilku (Indonesia Tera, 2002), Telepon Genggam (Kompas, 2003).

Setelah itu buku-buku puisi Joko Pinurbo terbit dan memperkaya dunia kepenyairan Indonesia. Yang paling utama, puisi-puisi Joko Pinurbo memperkaya bahasa Indonesia, mendinamiskan bahasa Indonesia, membumikan puisi, membuat semua orang bisa menikmati puisi, dan mengajak semua orang bergembira lewat puisi.

Puisi Sederhana

Puisi-puisi Joko Pinurbo harus diakui membuat dirinya menjadi penyair paling populer di Indonesia setidaknya 25 tahun terakhir. Pembaca dan penggemar puisi-puisi Joko Pinurbo melampaui batas lingkungan kesusastraan.

Jamak mengemuka anggapan puisi adalah karya sastra yang serius. Karya sastra yang butuh kemampuan menelaah lebih tinggi dibanding kala menelaah karya sastra lainnya.

Joko Pinurbo di tengah keseriusan berpuisi mampu membumikan jagat puisi yang serius itu. Walakin, puisi-puisi karya Joko Pinurbo jelas adalah karya sastra yang tidak hanya serius, tetapi juga unggul dan inovatif.

Menurut guru besar dan dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Faruk, seperti dia tulis untuk pengantar buku Konstruksi Tubuh Joko Pinurbo, Ruang Pascakolonial di Balik Celana dan Di Bawah Kibaran Sarung karya Dwi Rahariyoso (2017), Joko Pinurbo selalu belajar bahwa orang bisa menulis puisi yang dari luar tampak sederhana, tetapi sebetulnya penuh dengan makna konotatif.

Simpel dari luar, tetapi di dalamnya ada kandungan makna yang bisa digali lebih dalam. Itulah yang selama ini diperjuangkan Joko Pinurbo kala menulis puisi. Ia selalu ingin menulis puisi yang bisa dinikmati oleh siapa pun, termasuk orang awam, tetapi setelah dibaca berulang-ulang, orang akan berpikir bahwa maknanya tidak sesederhana yang tersurat.

Puisi-puisi Joko Pinurbo memang sederhana. Puisi-puisi itu bisa dijangkau oleh siapa saja, tetapi sekaligus mengandung makna yang dalam. Dalam puisi Kamus Kecil (2014), misalnya, kesederhanaan sekaligus kedalamam makna dikelola Joko Pinurbo lewat oposisi antara pintar dan lucu, antara kedalaman dengan kedangkalan.

Ia dengan sangat lincah, liat, plastis memberikan makna tambahan pada pasangan oposisi tersebut, yakni, menurut Faruk, hierarki antara tragedi dengan komedi. Puisi Kamus Kecil—dan banyak puisi Joko Pinurbo lainnya—membuka kemungkinan lain dan kemungkinan lanjutan bagi penjelajahan mengenai tubuh dan jiwa.

Memang ada kecenderungan ironi pada banyak puisi Joko Pinurbo, tetapi yang jelas puisi-puisi Joko Pinurbo tak bisa hanya lucu karena akan terasa semata-mata seperti komedi seperti ”pemulung yang tidak pelnah melasa gembila” dalam puisi Kamus Kecil.

Kepergian Joko Pinurbo jelas meninggalkan kesedihan bagi bahasa Indonesia, bagi pencinta bahasa Indonesia, bagi penikmat puisi-puisi karya dia yang lintas usia dan mencakup sangat banyak individu penyuka puisi di luar dunia kesusastraan.

Terima kasih kepada Joko Pinurbo. Bahasa Indonesia menjadi sangat keren karena kreativitasmu. Dia pasti secara spontan menjawab,”Terima kasih [kembali]. Kuterima kasihmu. Terimalah kasihku…”

Kamus Kecil

Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia

yang pintar dan lucu walau kadang rumit

dan membingungkan. Ia mengajari saya

cara mengarang ilmu sehingga saya tahu

bahwa segala sumber kisah adalah kasih;

bahwa ingin berawal dari angan;

bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;

bahwa segala yang baik akan berbiak;

bahwa orang ramah tidak mudah marah;

bahwa seorang bintang harus tahan banting;

bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;

bahwa orang lebih takut kepada hantu

          ketimbang kepada tuhan;

bahwa pemurung tidak pernah merasa

          gembira, sedangkan pemulung

          tidak pelnah melasa gembila;

bahwa lidah memang pandai berdalih;

bahwa cinta membuat dera berangsur reda;

bahwa orang putus asa suka memanggil asu;

bahwa amin yang terbuat dari iman

           menjadikan kau merasa aman

Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku

ke sebuah paragraf yang menguatkan

bau tubuhmu. Malam merangkai kita

menjadi kalimat majemuk bertingkat

yang hangat di mana kau induk kalimat dan aku

anak kalimat. Ketika induk kalimat bilang pulang,

amak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk

ke dalam palung. Ruang penuh raung.

Segala kenang tertidur di dalam kening.

Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah

menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap

tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal.

Tinggalkan komentar