Wayang Sandosa Mengaktualkan Seni Tradisi

Pergelaran Wayang Sandosa dengan lakon Siluet Bhagawad Gita di Pendhapa Ageng Gendon Humardani Taman Budaya Jawa Tengah di Kota Solo pada Kamis (18/4/2024) malam pekan lalu harus dimaknai sebagai ikhtiar mengaktualkan seni tradisi wayang kulit selaras perkembangan zaman.

Wayang Sandosa bukan genre baru karena insiatif menciptakan genre wayang kulit ini kali pertama muncul 43 tahun lalu, yaitu pada 1981. Kala itu para mahasiswa dan seniman yang beraktivitas dan belajar di Akademi Seni Karawitan Indonesia Pusat Kesenian Jawa Tengah (ASKI PKJT) Taman Budaya Surakarta di kompleks Sasana Mulya, Baluwarti, Pasar Kliwon, Kota Solo, berinisiatif menciptakan tafsir baru atas pertunjukan wayang kulit.

Mereka saat itu tak menjadi bagian tim lawatan seni ke Durham, Inggris. Mereka kemudian mencari bentuk pakeliran atau pertunjukan wayang kulit berbahasa Indonesia. Inisiatif awal kala itu menggelar lakon Wibisana Tunduk sebagai terjemahan pakeliran padat karya Ki Bambang Suwarno, pengajar ASKI PKJT Solo kala itu.

Proses kreatif para seniman yang berbasis di Sasana Mulya terus bergulir hingga tercipta pertunjukan wayang kulit berbahasa Indonesia dengan aneka bentuk baru elemen pendukung. Seniman dan dalang Hajar Satoto saat itu secara sepontan memberi nama hasil kreasi itu sebagai Wayang Sandosa sebagai identitas pakeliran berbahasa Indonesia.

Pada 1986, Wayang Sandosa mewakili Taman Budaya Surakarta—kini Taman Budaya Jawa Tengah di Kota Solo—sebagai peserta duta seni ke Taman Budaya Bali. Wayang Sandosa saat itu menggelar lakon Sang Rahwana.

Pada Kamis malam pekan lalu, para cantrik lawas Sandosa Sasana Mulya yang didukung seniman muda kreatif dan dosen-dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan para seniman dari sejumlah sanggar seni dalam wadah Shadow Play Sandosa Sasana Mulya menggarap dan menggelar lakon Siluet Bhagawad Gita.

Pilar Pangesuh Paguyuban Shawon Play Sandosa Sasana Mulya, Yohanes Sujani Sabdoleksono, dalam pembukaan acara, sebelum pergelaran Wayang Sandosa dengan lakon Siluet Bhagawad Gita, menjelaskan  sebagai pertunjukan wayang eksperimental, Wayang Sandosa terus disesuaikan dengan perkemnangan zaman.

Ini selaras dengan inovasi dan kreativitas awal, 43 tahun lalu, ketika para seniman di Sasana Mulya berkehendak mengaktualkan wayang kulit lewat pergelaran berbahasa Indonesia dan didukung kreasi baru—kala itu—pada semua elemen pertunjukan.

Menikmati pergelaran Wayang Sandosa dengan lakon Siluet Bhagawad Gita pada Kamis malam pekan lalu itu sepenuhnya harus berkonsentrasi di layar lebar atau pakeliran. Penonton menikmati pergelaran wayang dari depan layar. Penonton sepenuhnya menikmati visual ”bayang-bayang” wayang yang dimainkan di balik—di belakang—layar besar.

Penonton tak akan bisa menikmati pergelaran Wayang Sandosa di belakang layar sebagaimana ketika menonton pergelaran wayang kulit semalam suntuk atau wayang kulit yang pakem. Di belakang layar adalah arena bagi para dalang, narator, dan pengatur lampu.

Pertunjukan lakon Siluet Bhagawad Gita didukung 16 dalang dan narator serta dua orang pengatur lampu. Dalam pertunjukan Wayang Sandosa tidak ada batang pisang tempat menancapkan wayang. Tidak ada tempat duduk bagi dalang. Tidak ada asisten dalang yang memilihkan wayang.

Wayang di pergelaran Wayang Sandosa tidak dimainkan dengan bersandar pada layar atau kelir. Sebanyak 16 dalang dan narator memanfaatkan ruang lebar di belakang layar. Jarak antara layar dan lampu yang menembakkan cahaya ke layar lebar kurang lebih lima metar. Di arena antara lampu dan layar itu para dalang memainkan wayang secara bergantian atau simultan.

Setiap dalang dan narator telah mendapat jatah memegang dan memainkan wayang-wayang tertentu. Mereka muncul di arena di antara lampu dan layar lebar sesuai naskah lakon, sesuai dengan siapa tokoh wayang yang muncul di adegan yang ditampilkan di layar.

Dalang Wayang Sandosa beraksi dengan berjongkok, berjalan hilir mudik, atau berlari-lari kecil di arena di antara lampu dan layar. Wayang yang dipegang tidak diletakkan di layar. Wayang diangkat di ruang selebar kurang lebih lima meter di antara lampu dan layar.

Mereka harus cermat memperhatikan sorot lampu yang jatuh di layar agar bayang-bayang tubuh mereka sendiri tak ikut terproyeksikan di layar besar di hadapan penonton. Wayang mereka pegang dan mereka angkat serta dimainkan di ruang di antara lampu dan layar.

Jarak dengan lampu dan layar mereka perkirakan secara independen sesuai kebutuhan seberapa besar bayang-bayang wayang harus muncul di layar dan terlihat oleh penonton di depan layar. Tentu bayang-bayang wayang yang muncul di layar bagian depan itu sesuai dengan kronologi lakon dan tokoh-tokoh yang muncul pada tiap adegan.

Keterampilan individu memainkan wayang tiap dalang dan narator harus menyatu dalam kerja sama tim dalang dan narator sehingga menghasilkan bayangan wayang dan pelengkapnya—misalnya gunungan, kereta kencana, pepohonan, aneka binatang, hutan, dan sebagainya—yang harmonis pada tiap adegan.

Negosiasi Ruang

Dalang dan narator Wayang Sandosa dengan lakon Siluet Bhagawad Gita pada Kamis malam pekan lalu itu adalah St. Wiyono, S. Pamardi, Djarot Budi Darsono, Agus Prasetyo, Ki Sudarsono, Ki Harijadi Tri Putranto.

Kemudian, Ki Suwondo, Ki Sriyanto, Aang Wiyatmoko, Ajimas Bayu Pamungkas, Gendut Dwi Suryanto, Kukuh Kridho Laksono, Inong Wahyu Widayati, Cempluk Sri Lestari, Atik Sulistyaning Kenconosari, dan Sri Setyoasih.

Mereka adalah gabungan cantrik lawas Sandosa Sasana Mulya, para seniman di Padepokan Seni Nurrasa, dan Sahita. Dalam pertunjukan Wayang Sandosa kali ini beberapa dalang (laki-laki dan perempuan) berdialog dan bernarasi, sementara dua orang mengendalikan lampu.

Pertunjukan Wayang Sandosa diiringi gamelan langsung (biasanya dalam tangga nada pelog) yang dipadukan dengan alat musik modern. Fungsi layar dalam pertunjukan wayang kulit semalam suntuk adalah untuk menciptakan bayangan dan bertindak sebagai penopang wayang untuk bersandar saat ditempatkan di batang pisang atau dipegang oleh dalang.

Dalam pertunjukan Wayang Sandosa, wayang dapat dipindahkan antara layar dan lampu utama, yang berjarak sekitar lima meter, tergantung pada ukuran bayangan yang dibutuhkan, namun wayang sangat jarang menyentuh layar.

Dalang sekaligus narator harus memegang wayang dan menyesuaikan ukuran bayangan dengan menggerakkan wayang mendekati atau menjauhi cahaya lampu. Dalam pertunjukan Wayang Sandosa layar tidak pernah kosong.

Gerakan yang paling sulit dalam pertunjukan Wayang Sandosa adalah gerakan pada adegan pertempuran. Pada adegan ini dalang harus mengatur sendiri wayang-wayang tanpa menyentuh layar dan tanpa ditopang batang pohon pisang serta tidak ada asisten di belakang dalang yang mempersiapkan wayang yang akan muncul di layar (seperti dalam pertunjukan semalam suntuk).

Para dalang Wayang Sandosa harus memanipulasi wayang di atas kepala mereka untuk mencegah bayangan mereka sendiri muncul di layar. Beberapa karakter wayang dilengkapi pegangan sepanjang dua meter.

Pegangan yang panjang ini sangat penting untuk gerakan-gerakan tertentu seperti terbang, mimpi, atau adegan-adegan yang berlatar belakang langit. Dalam pertunjukan Wayang Sandosa, setiap dalang memiliki lebih dari tiga karakter yang berbeda untuk didramatisasikan.

Pemahaman dan kerja sama antardalang sangat penting selama pertunjukan Wayang Sandosa karena mereka selalu menegosiasikan ruang dan bekerja sama di belakang layar selama pertunjukan digelar. Latihan intensif menjadi kunci keberhasilan pementasan Wayang Sandosa.

Dialog dalam pertunjukan Wayang Sandosa sepenuhnya dengan bahasa Indonesia. Tembang pengiring juga berbahasa Indonesia. Narasi yang menjadi latar belakang adegan juga disampaikan dalam bahasa Indonesia. Inilah ikhtiar mengaktualkan wayang kulit oleh para seniman Sandosa Sasana Mulya sejak 43 tahun lalu.

Tinggalkan komentar