Menjawab Teka-teki Harga Lukisan

Lukisan dalam wujud 22 panel karya Ireng Digdo berjudul Meniti Garis dengan media tinta pada kertas yang dijual seharga Rp10 juta. Lukisan ini dipajang dalam pameranTitik Temu: Pameran Alumni Seni Rupa ’81 Plus IKIP Negeri Semarang Se-Jawa Tengah pada Senin hingga Jumat 13—17 Mei 2024 di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Jawa Tengah di Kota Solo.

Dua pameran seni rupa skala besar termutakhir yang bertempat di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Jawa Tengah atau TBJT di Kota Solo menunjukkan perbedaan nyata dalam urusan transparansi harga lukisan.

Pameran seni rupa bertema Titik Temu: Pameran Alumni Seni Rupa ’81 Plus IKIP Negeri Semarang Se-Jawa Tengah pada Senin hingga Jumat 13—17 Mei 2024 berformat menjadi ruang ekonomi yang transparan.

Pameran seni rupa Titik Temu itu layak diapresiasi sebagai pasar karya seni rupa yang terbuka. Harus disebut pasar karena mayoritas lukisan—dengan aneka genne dan gaya—yang dipamerkan disertai dengan label yang menjelaskan harga lukisan itu.

Lukisan karya Sapto Sugiyo Utomo berjudul Indahnya Berbagi dilengkapi label yang menerangkan lukisan itu dijual seharga Rp15 juta. Lukisan karya Guskoco berjudul Pitutur Luhur 1 dan Pitutur Luhur 2 masing-masing diberi label harga jual Rp5 juta.

Lukisan karya Sugiyono berjudul Suluh yang menggambarkan setandan buah pisang yang telah suluh atau menjelang matang dilengkapi label harga jual Rp17,5 juta. Label-label harga pada lukisan-lukisan yang dipamerkan itu sangat membantu memperdalam apresiasi terhadap lukisan yang dipamerkan.

”Kejujuran” sang perupa atau pelukis menetapkan harga bagi lukisannya adalah pencerminan laku dan proses kreatif, yang bisa jadi sangat panjang, bisa jadi pula sangat pendek, yang sepenuhnya mencerminkan kemerdekaan mereka untuk berekspresi lewat media seni lukis dengan aneka genre dan bentuk.

Beberapa hari kemudian diselenggarakan pameran seni rupa bertema Empowering the Diversity, yaitu pada 24-30 Mei 2024 dengan label ”pameran seni rupa internasional”. Pameran ini diselenggrakan oleh Himpunan Perupa Sragen atau Himpas bersama jaringannya.

Subjek pameran memang Himpas, para perupa asal dan yang berbasis di Kabupaten Sragen, namun materi dan peserta pameran justru tak semata-mata tentang dan dari Kabupaten Sragen. Urusan Kabupaten Sragen justru sangat minim dalam pameran ini.

Sebanyak 41 perupa berpartisipasi dalam pameran ini. Sebanyak 117 karya seni rupa dua dimensi dan tiga dimensi dipamerkan. Pameran seni rupa ini berkolaborasi dengan performance art yang ditampilkan pada malam hari di teras Galeri Seni Rupa TBJT Solo.

Perupa asal Kabupaten Sragen yang terlibat dalam pameran ini adalah Ajar Ardiyanto, Indarto Agung Sukmono, Pranoto Ahmad Raji, Rangga Jalu Pamungkas, dan Tiyok Setyo. Perupa lainnya berasal dari berbagai wilayah di Jawa, Sumatra, Bali, dan Madura.

Lima perupa dari luar negeri menyemarakkan pameran ini, yaitu Shuai Feng (China), Jennifer Beeston (Melbourne, Australia), Daniel Rogers (Barharbor, Meine, Amerika Serikat), Oool ”Ulu” Fjolkunnigr (Yellowknife, Kanada), dan Tatiana Scali (Paris, Prancis).

Pameran dengan label ”internasional” ini menyajikan karya seni rupa aneka genre, aneka aliran, yang menyajikan aneka topik. Perbedaan nyata dengan pameran Titik Temu adalah pada pameran Empowering the Diversity tidak ada label harga untuk lukisan atau karya seni rupa lain yang dipamerkan.

Pameran seni rupa memang lebih jamak tak menyertakan label harga. Pameran seni rupa yang menyertakan label harga untuk setiap karya seni rupa yang dipamerkan layak disebut sebagai format pameran seni rupa yang bukan arus utama.

Dalam pameran seni rupa penentuan harga jual ditentukan sendiri oleh sang perupa atau pelukis dengan pembeli atau kolektor. Kesepakatan harga menjadi milik mereka. Harga akan diketahui banyak orang ketika dua pihak itu mengatakan atau membukanya.

Pada pasar seni rupa kemudian terbentuk semacam harga standar untuk pelukis atau perupa tertentu. Artikel berjudul Penetapan Harga Lukisan: Sebuah Kajian Teoretik karya Mikke Susanto (penulis utama), L. Simatupang, dan Timbul Haryono (terbit di buku Kelola Seni: Lukisan, Wayang, Film, hingga Jazz; Penerbit Ombak; 2018) menjelaskan lukisan menjadi benda paling mahal dalam khazanah ekonomi dibandingkan dengan karya seni lainnya.

Dalam beberapa lelang, lukisan ditempatkan sebagai benda yang paling banyak ditransaksikan oleh para kolektor dengan capaian harga yang (sering kali) mencengangkan sepanjang masa. Lukisan di kanvas adalah benda seni yang memiliki posisi tertinggi dalam klasifikasi lelang di seluruh dunia.

Lukisan sebagai komoditas yang paling berharga menempati ruang khusus bagi kolektor. Lukisan memiliki hakikat sebagai benda hasil keterampilan kreatif, dikerjakan secara manual, memiliki keunikan, menggunakan rasa dan jiwa, serta bersifat terbatas dan abadi.

Lukisan menjadi benda ekslusif yang sangat mungkin diperebutkan oleh sejumlah peminat. Lukisan yang terkenal jamak berharga sangat tinggi karena diperebutkan banyak peminat, banyak kolektor.

Salah satu bagian utama infrastruktur seni adalah pasar. Pasar memunculkan dinamika yang luar biasa, utamanya pada saat transaksi lukisan. Pasar menjadikan bisnis lukisan kian lama kian mengejutkan.

Aktor yang mendinamiskan pasar yaitu kolektor, dealer, dan investor. Mereka menjadikan lukisan bernilai citra yang luar biasa. Lukisan tidak pernah kehabisan “ahli waris”, “penerus”, maupun “korban”, meskipun harga yang ditawarkan tidak pernah turun.

Banyak transaksi lukisan yang membuat kening berkerut. Di antara hal yang paling misterius dalam transaksi lukisan adalah persoalan harga. Turun atau naiknya harga lukisan menjadi perbincangan yang tak berkesudahan.

Ini semua tidak lepas dari wacana lukisan sebagai investasi ekonomi. Lukisan dianggap sebagai aset keuangan pada masa depan. Lukisan memiliki nilai konsumsi, nilai estetika, sekaligus prestise bagi pemiliknya.

Begitu banyak yang menganggap lukisan sebagai investasi sehingga menyebabkan seni menjadi fokus penelitian ekonomi yang menarik pada tahun-tahun terakhir.

Praktik Akal Sehat

Pengunjung mengamati aneka lukisan lengkap dengan label harga jual yang dipamerkan dalam pameran seni rupa Titik Temu: Pameran Alumni Seni Rupa ’81 Plus IKIP Negeri Semarang Se-Jawa Tengah pada Senin hingga Jumat 13—17 Mei 2024 di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Jawa Tengah di Kota Solo.

Artikel tersebut adalah bagian disertasi Mikke Susanto yang bertajuk Penguatan Indikator-indikator Penetapan Harga pada Panduan Penilaian Koleksi Karya Seni Istana Kepresidenan Republik Indonesia dengan pembimbing dua promotor, yakni Lono Lastoro Simatupang dan Timbul Haryono.

Disertasi itu ditulis Mikke di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (PSPSR UGM) Yogyakarta pada 2017.

Berdasar hasil riset Mikke, tidak semua lukisan memiliki posisi yang sama alias tidak selalu menjadi komoditas bernilai tinggi. Sebagian lukisan mungkin dianggap tidak perlu dikoleksi. Mengutip Ron Davis, seorang art dealer sekaligus kolektor, Mikke menjelaskan setidaknya terdapat tiga cara menelaah lukisan.

Ron Davis menjelaskan terdapat tiga klasifikasi lukisan atau karya seni yang dikaitkan sebagai benda bernilai koleksi. Pertama, karya seni dekorasi (decorative art), yakni lukisan atau karya seni yang memiliki tujuan menjadi penghias ruang atau sering pula dianggap sebagai suvenir.

Tema lukisan atau karya seni jenis ini adalah hal-hal yang biasa dilukis oleh kebanyakan pelukis seperti pemandangan alam, gunung, bahari, kehidupan sehari-hari, dan olahraga. Nilai intrinsik lukisan dekorasi tergolong rendah.

Lukisan dekorasi jarang dibuat pelukis yang masuk dalam daftar pelukis penting. Seni jenis ini bisa berharga mahal, terutama ketika telah menjadi antik, apalagi berbahan yang bagus serta terpelihara dengan baik.

Lukisan atau karya seni jenis ini bukan pilihan investasi yang bijaksana sebagai benda investasi jangka panjang. Kedua, karya seni layak koleksi (colectable art). Karya semacam ini biasanya dikerjakan oleh pelukis kelas regional atau pelukis dengan kualitas “pekerjaan siswa”, bisa saja bukan akademikus dan bukan profesional.

Jenjang lukisan atau karya seni jenis ini bisa berupa lukisan yang ditandatangani atau unsigned, “terdaftar” atau “tidak terdaftar” (dicatat dalam panduan harga dalam katalog lelang), tetapi bukanlah lukisan hiasan semata.

Bisa jadi lukisan atau karya seni ini laku di satu kota, tetapi tidak laku di kota lain. Pelukis kelas ini bisa meningkat pada level berikutnya. Ketiga, karya seni investasi (investment art). Karya seni jenis ini akan selalu meningkat nilainya.

Karya-karya seni ini digubah oleh pelukis penting, materialnya jamak berkualitas tinggi. Lukisan-lukisannya dicari oleh para kolektor, investor, dan dealer karena memiliki prospek pada masa depan, ada keyakinan harga jual makin tinggi.

Karya seni atau lukisan jenis ini sering dipromosikan sebagai karya yang dapat memenuhi permintaan nasional dan internasional. Oleh karena itu, siapa saja yang memiliki karya seni semacam ini dengan mudah dapat menjual untuk mencari keuntungan.

Mikke menjelaskan penetapan harga lukisan atau benda seni secara umum adalah pekerjaan yang melibatkan atau membandingkan sejumlah data dari berbagai sumber. Penetapan harga karya seni mengarah pada beberapa korelasi antar-hal yang bersifat kompleks.

Memang ada dan telah terjadi praktik akal sehat untuk menghargai seni, misalnya pada saat terjadi transaksi lukisan, namun sampai hari ini tidak ada rumus konkret dan definitif mengenai penetapan harrga lukisan atau karya seni.

Sesungguhnya penetapan harga lukisan atau benda seni amat penting bagi berbagai kalangan. Penetapan harga bertujuan tidak hanya demi penghitungan aset koleksi, investasi, dan tujuan pembiayaan.

Penetapan harga penting sebagai bagian dari penilaian yang mengaitkan karya untuk sumbangan amal, perencanaan pajak, asuransi, pinjaman tujuan agunan, biaya pemeliharaan dan restorasi, atau fungsi-fungsi lainnya.

Penilaian atau penetapan harga lukisan atau karya seni secara umum pada akhirnya menjadi lahan yang tidak berbatas bagi banyak stakeholders yang berhubungan dengan lukisan, misalnya pemerintah, lembaga pajak dan bea cukai, pegadaian, galeri, kurator, museum, sampai rumah lelang.

Di tengah persoalan tersebut, Mikke mengemukakan sejumlah metode penentuan harga, antara lain, dilihat dari sudut pandang kepemilikan lukisan: dari mana dan siapa pengusung harga lukisan.

Pertama, penetapan harga ditentukan saat karya tersebut selesai dibuat dan harga ditentukan oleh pelukisnya. Kedua, penentuan harga jual ketika lukisan tersebut berada di tangan kolektor atau orang kedua, ketiga, dan seterusnya.

Ketiga, harga yang didongkrak oleh kompetisi, misalnya pada peristiwa lelang atau kejuaraan. Tiga sudut pandang penentuan harga lukisan ini memiliki sifat dan cara penentuan yang tentu saja berbeda.

Banyak data dari berbagai sumber yang dilibatkan dalam perumusan harga lukisan atau karya seni pada tiga sudut pandang itu. Ketika para seniman atau perupa sendiri yang menetapkan harga lukisan karya mereka, seperti pada pameran Titik Temu, tentu itu langkah terpuji yang memudahkan komponen pasar seni lainnya. Tentu saja harga bisa naik dan bisa turun.

Tinggalkan komentar