Kita Memang Harus Berkurban

Ilustrasi dari freepik.com.

Judul naskah ini terinspirasi judul salah satu artikel karya cendekiawan muslim (almarhum) Nurcholish Madjid (17 Maret 1939—29 Agustus 2005) alias Cak Nur, Kita Memang Harus Berkorban, yang termuat dalam buku Pintu-pintu Menuju Tuhan (Penerbit Paramadina, 1995).

Dalam artikel itu Cak Nur menggunakan kata “berkorban” bukan “berkurban”. Kata ”kurban” dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari kata bahasa Arab ”qurban”. Secara semantik atau peristilahan kata ”kurban” atau ”qurban” adalah tindakan seseorang yang menghasilkan kedekatan dengan rida Tuhan.

Kurban adalah manifestasi ajaran Islam agar kaum muslim selalu berusaha mendekati Allah SWT. Menurut Cak Nur, sesungguhnya yang terpenting dalam menjalankan kurban adalah sikap batin. Tindakan-tindakan lahiriah tetap penting, tetapi hanya kalau itu menjadi ekspresi jujur dari niat.

Pada Iduladha kaum muslim diajarkan berkurban, mencontoh Nabi Ibrahim AS. Berkurban dengan menyedekahkan hewan untuk orang lain, khususnya kaum miskin. Al-Qur’an mengingatkan yang akan diterima oleh Allah, yang benar-benar menjadi ”qurban”—membuahkan kedekatan dengan Allah SWT, bukanlah fisik hewan kurban itu.

Kedekatan yang berkurban dengan Allah SWT ditentukan oleh nilai takwa dalam dirinya. Tidak akan sampai kepada Allah daging (kurban) itu, dan tidak pula darahnya. Tetapi, yang akan sampai kepada-Nya ialah takwa dari kamu (QS Al-Hajj: 37).

Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Pemikiran di Kanvas Peradaban, jilid 2 H-L,  terbitan Democracy Project, 2012, ketika menjelaskan hakikat kurban mengawali dengan pertanyaan apakah arti kurban itu? Mengapa kaum muslim dituntut memiliki semangat berkurban yang setinggi-tingginya?

Mengapa kaum muslim diperintahkan mencontoh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail dan mempelajari semangat pengorbanan mereka? ”Qurban” adalah kata bahasa Arab yang artinya ialah “pendekatan”, yaitu pendekatan kepada Tuhan.

Melakukan ”qurban” adalah melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekat-kan diri kita kepada tujuan hidup. Manusia berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Dalam praktik, dalam bentuk yang konkret, berkurban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan.

Pandangan dan tindakan yang menunjukkan setiap individu muslim tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya.

Nabi Ibrahim AS tidak mau tertipu kesenangan mempunyai seorang anak kesayangan, yaitu Ismail. Ibrahim tidak ingin pada tujuan hidup yang hakiki, yaitu Allah SWT. Ibrahim pun bersedia mengurbankan anaknya.

Ibrahim bersedia mengurbakan lambang kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara itu:  kesenangan duniawi. Ibrahim tahu dan yakin tentang kebahagiaan abadi dalam rida dan perkenan Allah SWT.

Ismail—yang tumbuh dalam didikan ayahnya yang saleh—juga tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak hidup senang di dunia dan kemudian melupakan hidup yang lebih abadi di akhirat kelak. Ismail bersedia mengakhiri hidupnya dan pasrah kepada Allah, dikurbankan oleh ayahnya.

Berkurban ialah sikap, pandangan, keyakinan dalam hidup yang melihat jauh ke masa depan dan tidak terkecoh oleh masa kini yang sedang dialami. Bahwa harus tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup sekarang.

Setiap muslim—seharusnya—tahu dan yakin bahwa pada masa depan akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan, dan jerih payah itu. Berkurban ialah sanggup menunda kenikmatan kecil dan sesaat demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar dan kekal.

Bersedia bersusah payah karena hanya dengan susah payah dan mujahadah suatu tujuan akan tercapai dan cita-cita terwujud. Sesungguhnya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan. Semangat berkurban adalah konsekuensi takwa kepada Allah.

Takwa yang dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan akan membuat tiap individu mampu melihat jauh ke depan, mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini pada kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan.

”Wahai sekalian orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan” (QS Al-Hasyr: 18).

Firman Allah itu mengandung perintah untuk bertakwa. Dalam perintah takwa itu sekaligus diingatkan agar membiasakan diri menyiapkan masa depan. Termasuk kurang takwa seseorang ketika ia kurang atau tidak mampu melihat masa depan hidup yang jauh, jika ia hidup hanya untuk di sini dan kini, di tempat ini dan sekarang ini.

Dalam skala yang lebih yang besar, kurang atau tidak bertakwa seseorang ketika hanya melihat hidup di dunia ini dan di dalam hidup ini saja! Inilah yang sulit disadari oleh tiap muslim karena manusia mempunyai kelemahan pokok, yaitu berpandangan pendek, tidak jauh ke depan.

Sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di belakang mereka masa yang berat (QS Al-Insan: 27). Manusia jamak tidak tahan menderita dan menerima cobaan. Manusia jamak tidak tabah memikul beban.

Mereka jamak tidak tahan melakukan jerih payah sementara karena mengira jerih payah itu kesengsaraan dan menyangka kerja keras itu kesusahan! Sesungguhnya di balik jerih payah itu akan terdapat manis dan nikmat keberhasilan. Di belakang pengorbanan itulah terasa nikmatnya hidup karunia Tuhan yang amat berharga ini.

Hipokrit

Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan bahwa sesungghnya Allah SWT tidak melihat bentuk luarmu dan harta bendamu, tetapi Dia melihat hatimu dan perbuatanmu (HR Muslim). Mengapa Allah tidak melihat bentuk lahiriah manusia? Karena bentuk lahiriah itu bisa saja palsu.

Bentuk lahiriah bisa saja tidak mencerminkan diri yang sesungguhnya, bukan yang sejati, karena tidak mencerminkan kedalaman jiwa. Sangat mungkin seorang individu adalah ”musang berbulu ayam”. Itulah hipokrit, kemunafikan.

Munafik adalah sebentuk kejahatan yang dalam Al-Qur’an diancam dengan neraka yang paling hina (QS An-Nisa’: 145). Bagi setiap muslim, usaha mendekati Tuhan dilakukan setiap hari, setiap saat. Dilakukan secara terus-menerus.

Oleh sebab itulah, agama (Islam) disebut sebagai jalan. Jalan adalah makna dalam bahasa Indonesia dari kata yang tercantum dalam Al-Qur’an: syari’ah, thariqah, shirath, sabil, mansak, dan minhaj. Semuanya dalam bahasa Indonesia berarti jalan. Jalan menuju dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam buku Masyarakat Religius, Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan (Dian Rakyat, 2010), Cak Nur menerjemahkan kurban dalam tiga hal besar yang saling berkaitan. Dua hal tentang takwa dan satu hal berkenaan dengan cara meraih takwa melalui ibadah sosial kemanusiaan.

Pertama, amalan kurban adalah bukti konkret ketakwaan Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail. Kisah ini adalah simbol yang harus diteladani umat-umat sesudahnya. Bahwa seorang nabi yang mendapat perlakuan khusus dari Tuhan saja masih dikenai perintah dan larangan, apalagi manusia biasa.

Dalam kisah pengurbanan itu, Nabi Ismail diganti dengan seekor domba. Hewan yang disembelih ini oleh sebagian ulama dimaknai sebagai hawa nafsu. Disembelih artinya nafsu ditekan agar tidak membuat seorang muslim lupa pada jati diri sebagai hamba.

Kedua, takwa dalam ibadah kurban dilegitimasi Al-Qur’an bahwa yang akan sampai kepada Tuhan bukan daging atau darah hewan kurban tersebut, melainkan ketakwaan orang yang menunaikan kurban..

Ketiga, penyelenggaraan kurban adalah wujud pendidikan sosial. Wujudnya adalah pendistribusian daging kurban yang merata sesuai dengan QS Al-Hajj: 36. Beberapa mufasir menilai kurban tidak hanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama.

Mereka yang berkurban tidak memiliki hak atas seluruh dagingnya. Mereka dianjurkan membagi-bagikan daging kurban. Ini adalah pendidikan sosial kemanusiaan agar tidak serakah, tidak mau menang sendiri, dan semacamnya. Sifat-sifat buruk yang harus ditekan habis-habisan.

Iduladha menyadarkan setiap muslim untuk memiliki nilai kemanusiaan. Nilai yang tidak hanya berhenti pada diri sendiri, tetapi mesti bermanfaat kepada liyan, bahkan juga kepada lingkungan sekitar.

Cak Nur menyebut berkurban yang bermakna berbuat mendekati Allah adalah dinamis. Mendekati Allah itu tiada henti-hentinya. Mendekati Allah—dengan berkurban—adalah menempuh jalan yang hanya berujung pada rida Allah.

Wujud paling penting ”kurban” adalah segala perbuatan baik kita. Menurut Cak Nur, hanya dengan begitulah setiap muslim bisa mendekati Allah.

”Maka barang siapa mengharap bertemu Tuhannya, hendaknya dia berbuat kebaikan, dan janganlah beribadat kepada-Nya itu memperserikatkan-Nya kepada suatu apa pun juga” (QS Al-Kahf: 110). Inilah keniscayaan bahwa setiap muslim memang harus berkurban.

Tinggalkan komentar